Dinginnya pagi ini
serasa berbeda dengan lainnya, ada setiap kenangan dan rindu dalam ingatku
mengenangmu. Hari reuni akhirnya datang menghampiri rindu yang tak sampai ini.
Hari besar, hari bertemu dengan mu dalam hangatnya rangkulan bulan oktober.
Jam sudah menunjukan pukul 07.00 dan acara di mulai jam 10.00 hanya sekitar 3 jam aku harus mempersiapkan diri untuk acara ini. Dalam setiap detiknya aku mengenangmu, kenangan yang indah. Sebenarnya banyak sekali yang ingin ku ceritakan tentangmu pada bagian kedua ini tapi mungkin akan bagus jika setengahnya hanya kita yang tau.
***
Saat ku tahu namamu Bilqis, sejak itulah aku membayangkan namamu akan terukir indah bersanding denganku di undangan pernikahan. Ahhhhh…., khayalan yang terlalu tinggi untukku berukuran 165 cm ini.
Hari berlalu, bahkan terlalu cepat untuk seekor lebah pekerja untuk menghasilkan madunya. Kami sudah sering bertegur sapa. Biasanya dia yang menyapa karena aku tak punya topeng tebal untuk menyapanya sejak saat itu.
***
Disuatu hari yang sangat biasa.
Ketika aku duduk di depan kelas memandangi setiap inchi langit berawan, langit Cirebon sangat indah. Jika kau kesini cobalah untuk diam sejenak dan lihat langitnya maka dalam sekejap kau akan dibuat melayang dibuatnya, bagai permen kapas berundak undak. Otakku sekarang benar benar kosong di buat melayang oleh awan awan nakal itu.
Alasanku bisa ada diluar adalah karena kelas kosong dan semuanya sedang mengerjakan tugas. Kalau bukan karena guru kiler itu, anak di kelas gak bakal kerasukan mengerjakan tugas seperti itu.
Tapi, aku jenius aku tak butuh kerasukan seperti itu untuk mengerjakan tugas ini. Kecepatan menulisku di atas rata rata jadi, ketika waktu pelajaran tinggal 15 menit aku akan kembali masuk kelas dan berteriak “SIAPA YANG UDAH ?” dan aku akan menyalinnya dalam 15 menit. Hebatkan ? jadi aku punya 75 menit bebas.
“Hai” Suara yang belum biasa kudengar. Secepat tokoh sonic dalam kartunnya aku menengok dan yap itu dia sang merpati tanpa cacat
“Oy…” Sapaku balik dengan badan yang setengah berajak, ingin kabur. Aku katakan sekali lagi aku tidak punya topeng tebal.
“Hoy bentar !” suara cemperngnya membuatku duduk kembali, jujur aku masih takut.
“Ada apa ?” tanyaku dengan wajah yang biasa, tampan.
Matanya membesar, terlihat seperti dipaksakan “ajarin fisika dong !”
“Tunggu, kamu kenapa bisa ada di luar kelas ? “ Tanyaku.
“Hmm….” Keningnya berkerut 3.
“Dikeluarin ?” tanyaku memperjelas kodenya yang sudah kayak cacing kepanasan yang slowmotion.
“Hmmmm…, heeh.” Kerut di keningnya sudah beranak.
“Wuhahaha…” Tawaku lepas, sangat lepas.
Dengan beberapa kedipan mata dia langsung bergerak cepat
“Sttt…, diem ih !” dengan telunjuk di mulut ku. Mata kita bertemu. Walaupun cuma 2 detik kurang tapi jika cerita ini akan di buatkan film, aku yakin aku akan terus mengulang adegan ini, mungkin aku akan request ke sutradaranya supaya ada merpati di samping sampingnya. Tapi, mungkin tidak jadi merpati kan ku ganti kucing, karena aku tak ingin dia direbut merpati lain. Dia merpatiku.
“Diem ihhhh…, udah ayo ajarin ihhhh !” katanya melanjutkan.
“Matamu indah,” ups kecepolosan mulutku
“Udah cepetan ajarin !” tegasnya sambil menarik tanganku ke bukunya. Ucapanku tak digubrisnya. Selamat.
Gayaku langsung berubah menjadi berwibawa “mana sini ?”
“Ini yang ini,” arahnya ke salah satu soal. Ternyata soalnya mah gampang cuma pengemasan soalnya saja yang ribet.
Kami duduk di kursi panjang depan kelas yang sekaligus menjadi mejanya.
Aku lumayan jago Fisika, terakhir nilai Fisika ku tertinggi kedua di angkatan. Soalnya Fisika itu pelajaran imajinasi, jadi mudah saja untuk orang yang suka ngayal sepertiku. Sekarang kalian tau aku jago Fisika dan Bahasa Indonesia. Aku jago di keduanya tapi aku bego di semuanya kecuali dua itu.
“Fisika itu pelajaran menghayal, kamu bayangin aja gimana kejadian nya, abis itu pasti gampang deh.” Jelasku sebagai pendahuluan.
“Enak di denger sih, tapi gimana ?”
“Kamu harus tau rumus rumusnya dulu ?”
“Rumus mah hapal semua, cuma pas ngerjain ini kok susah ya ?”
“Gini dah kamu tutup mata, terus bayangin kejadian. Ambil benang merahnya, baru kamu telusuri benang lainnya” Jelasku seperti pelatih yoga.
Dia langsung menutup mata. Wajahnya cantik sekali, bahkan saat menutup mata. Aku cuma berharap wajah ini akan ada di setiap pagiku di hari mendatang. Tuh kan aku suka menghayal.
Beberapa detik berlalu.
“Udah belum ?”
“Susah.” Jawabnya dengan wajah yang masih sama dengan beberapa detik yang lalu, masih cantik.
“Inget ambil benang merahnya, benang merah” kataku seperti seorang komandan yang memberi perintah ke bawahannya.
Dia menurut. “Heeh heeh” sambil mengangguk. Dia amat sangat cantik dari jarak sedekat ini.
“Krekkk…” Suara pintu. Aku tidak langsung menenggok karena aku tahu siapa yang bisa mengerjakan tugas matematika itu dalam waktu mungkin sudah 15 menit. Dia adalah pribumi berwajah oriental, Tizar sang juara umum semester kemarin, dia juga yang mendapat nilai teringgi Fisika di atasku. Walaupun mukanya tidak mencerminkan.
“Kantin ?” tanyaku tanpa menggangu merpati di depanku. Bisik bisik .
“Ayo lah laper nih…” Dengan muka super melasnya.
“Tapi ini dulu, nih si Bilqis minta ajarin fisika nih.” Dengan bisikan yang kurasa paling pelan.
Tapi si kampret tak memperdulikannya, dia menarik tanganku dengan sangat keras. Aku berniat teriak dan minta maaf pada merpati di depanku. Tapi, aku takut menggangu konsentrasinya.
Dengan mata yang masih tertutup, dia aku tinggal kan. Tapi percayalah aku tak akan meninggalkanmu lain kali. Percayalah. Tapi kenyataannya ? entahlah aku punya cerita sendiri.
***
Aku pulang dari sekolah dengan harapan tidak bertemu dengannya.
Aku biasa pulang dengan Tizar hanya sampai perempatan pertama dari arah sekolah, sehabis itu kita berpisah. Tapi, hari ini tidak seperti biasa. Aku telah meninggalkan Bilqis di depan kelas.
“Ikut dong,” kata seseorang di belakang lebih tepatnya di arah tenggara. Suaranya tidak terlalu merdu.
Aku menengok dengan ragu ragu. Tanpa menyelesaikan tengokanku, aku berjalan cepat.
“Hei tunggu !!!” teriaknya
“Teriak kesiapa qis ?” tanya tizar yang ternyata lupa aku bawa dan masih berada di belakang.
“Tuh pacarmu, si Ulum.” tunjuknya. Kini dia sejajar dengan Tizar.
“Mana ada, lagian gw milih milih kali hahaha” balasnya. Dari jauh aku sudah bisa menebak kalau candaannya garing seperti biasanya. Bilqis tak mengubrisnya, dia fokus kepadaku. Bukan hal yang baik.
Dia mempercepat jalannya meniggalkan tawa renyah dari si raja garing.
“Hey…!!!” dia sudah di sampingku. Aku menyerah, kami beriringan.
“Kenapa ?” mukaku harlem shake.
“Aku tadi bisa mengerjakan soalnya,” mukanya bahagia sangat. Syukurlah…., aku selamat.
“Tapi…,” Dia melanjutkan. Jantungku mau copot.
“Pa yosi menyebutku pertapa.” Wajahnya berlipat seperti tikar lebaran.
“Bukankah itu bagus ?” tanyaku dengan senyum termanis, nyatanya mungkin seram.
“Bagus darimana, dia bilang aku harus bertapa beberapa tahun untuk mendapat satu jawaban.” Alisnya agak naik.
“Tapikan intinya kamu itu pinter loh,” belaku.
“Iya juga sih.” Muka bangga.
“Tapi lemot.” Bantingku. Kami sampai parkiran.
“Ih kampret, anterin balik dong !” pintanya dengan wajah preman minta jatah.
“Helmya cuma ada satu.” Alasanku.
“Pinjemin helmnya ke akulah, biar romantic.” Nampaknya otaknya sudah miring sejak awal.
“Percuma romantis kalau gak selamat.” Belaku sambil memakai jaket abuku.
“Selamat kok.” Katanya tidak menyerah.
“Masa?” dengan alis yang agak naik.
“Iya aku doang yang selamat” senyumnya nakal.
“Aku ?”
“Hmmm, luka ringan lah.” Jawabnya setelah bertapa. Sebenarnya luka ringan lebih baik dari pada dia yang luka berat, bisa bisa aku bunuh diri karena kehilangannya.
Tizar akhirnya sampai parkiran. Dia memalingkan mukanya dari kami. Kami memperhatikannya. Dia mengambil helm dan melempar ke arahku.
“Ambil nih, aku lagi gak ada penumpang.” Katanya dan langsung pergi dengan motornya.
Tizar memang pengertian.
“Ayo naik !” ajakku.
“Yuk.” terimanya.
Helm hitam yang kupakai, sedangkan satu lagi helm mokka menyatu dengan kepalanya.
Motor vespa tua dengan sedikit modifikasi warna marun seirama dengan hati.
Motorku melaju dengan amat sangat santai, aku tak mau membuang momen ini. rasanya seperti mimpi. Jalan jalan kecil yang menghiasi jalan besar bergantian menyambut kami, hati yang bahagia. Kami ? atau hanya aku saja.
“ekhkkkkk….ekhkkkk…” Motor tuaku kambuh. Aku berhenti.
“Kenapa ini ?” tanyanya bingung. Aku meminggirkan motor kampretku.
Mungkin kalian para pembaca sudah bisa menebak kalau ini akan terjadi dan kejadian romantis akan kembali tersaji dalam cerita ini. Mungkin ceritanya sangat mirip FTV dan aku menconteknya. Tapi, percayalah FTV yang mencontek ceritaku. Penulis cerita hidupku lebih hebat dari penulis FTV.
“Mogok hehehe,” tawaku renyah.
Dia hening
sejenak dan berkata “hah apa ?” tanyanya dengan wajah seperti artis sinetron
yang mendapat berita ibunya meninggal. Dia sengaja melakukannya.
“Kamu bisa pulang naik angkot kok.” Tawarku.
“Ganti ruginya gimana ? rugi dong aku.”
“Kapan kapan deuhhhh”
“Aku naik kamu yang dorong”
“Mending kamu naik angkot ih”
“Gak mau” wajahnya mulai kesal.
“Hayu dahhhh” dia memang wanita kejam hehehe.
Aku mendorongnya aku bisa melihat punggungnya dari sini. Aku bisa melihatnya dari sini. Aku bersyukur.
Beberapa meter kemudian dia turun
“Ayo sini gentian ?” tawarnya.
“Ayo ayo,” jawabku semangat.
Posisi kami berganti. Beberapa meter kemudian dia berhenti.
“Haduhhhh…,berat yah.” Dia mengeluh. Aku turun.
“Yaudahlah aku jalan aja.” Lanjutnya.
“Yakin gak mau naik angkot”
“Inget ganti rugimu”
Kini aku berjalan disampingnya, disampingnya.
Senja mulai berkenalan dengan sore, hari mulai sore. Bengkel mulai terlihat, bengkel bang Aceng. Bengkel langgananku. Bengkel kecil dengan bangunan 2 lantai. Bengkel di lantai satu dan kafe di lantai 2.
Tempatnya sepi, mungkin sudah sore. Karena kulihat bekas oli masih berceceran dimana mana. Para pegawai sedang mengobrol dengan bang Aceng berada di tengah bercerita, bercengkrama melepas penat dalam diri.
“Udah berani bawa cewe ya, kamu !” godanya
“Bilqis bang.” Serobot wanita yang kubawa.
“Bang Aceng, aku ini teman bapaknya si Ulum. Dari kecil si Ulum sudah sering ke sini, nungguin bapaknya main catur sama saya.”
“Jago catur dong dia ?”
“Jago dari mana ? dia mah orangnya males mikir, belajar catur saja ga mau, kamu bisa main catur ?”
“Kayaknya gak deh, lemot otaknya, harus bertapa dulu baru lancar.” Candaku
“Ihhh enak aja, gini gini aku pernah juara catur di kelas.” Bangganya sambil memukul pelan tangan atasku.
“Entar habis ini mainlah kita.” Tawar bang Aceng.
“Udahlah ayo naik, bang Acisnya ada kan ?”
“Ada kok, dia katanya nyariin kamu tuh”
“Yaudahlah, aku ke atas ya bang, ayu qis !” ajakku
Sampailah kita di lantai 2, kafe kecil bernama “seruput” bang Acis punya, dia adiknya bang Aceng. Bedanya 8 tahun dariku, bisa di bilang dia pengusaha muda.
Kami masuk, cuma ada beberapa orang di sana 2 orang dekat meja kasir dan satu orang sendiri di pinggir kafe dekat jalan raya.
“Hai bang.” Sapaku sambil menepuk pundaknya. Dia sedang mengotak ngatik laptopnya. Serius mukanya, uratnya tegang seperti tentara yang berbaris dan bubar setelah aku menyapanya.
“Hai Ulummmm, lah ini siapa ? baru juga kemaren bawa cewe, ini bawa lagi. Neng jangan mau sama dia, simpenannya banyak udah kayak peranakan Laron.” Sapanya balik dengan menambahkan informasi yang bersifat fiksi.
Aku langsung menampar pundaknya.
“Bilqis bang.” Sahut orang yang berada di sebelahku.
“Yaudah bang, biasa yah !”
Kami duduk di dekat jendela dekat jalan raya, kafe ini menghadap kearah timur jadi kami tidak bisa menikmati saat saat matahari dilumat bumi di barat. Ramai jalanan sore itu, seramai hati ini.
“Ramai sekali ?” tanyanya.
“Aku suka.” Jawabku singkat.
Kami diam ditelan lampu remang dibalik jendela.
Aku mengantarkannya pulang, dan di sana ibunya sudah menunggu di depan rumah.
“Mau kenalan ga ?” ajaknya, tapi belum sempat menjawab aku sudah ditarik.
“Mah ini Ulum.” Mengenalkanku dengan wajah berseri seperti mengenalkan anak kucing.
“Oh Ulummm.” Begitu saja reaksi ibunya
“Ibu Yuyun kan ?“ tanyaku singkat sebelum dia mengenalkan namanya.
Dan malam itu berakhir dengan aku bertemu dengan yuyun sebenarnya.
***
Aku mulai menyusuri jalanan yang dulu pernah jadi saksi senja pertama kita. Anginnya selalu sama. Apakah dirinya masih sama ? aku bahkan tak bisa membayangkan aku aku bertemu dengannya lagi.
Hubunganku
dengannya naik seperti halnya kenaikan presentase penjualan indomie pada akhir
bulan. Seperti manusia pada umumnya, aku mencari seluk beluk informasi tentang
dirinya Tizar pernah menawarkan sesuatu padaku.
“Lum mau aku certain tentang mantannya si Bilqis ga ?”
“Buat apa ? aku mah Cuma peduli masa depannya gak peduli masa lalunya.” Jawabku asik. Padahal nyatanya, mungkin informasi itu bisa menjadi informasi yang paling aku ingin dapat dari seluruh informasi lainnya di hidupku. Asal kau tau dulu facebook gak se nge tren sekarang. Tapi, ya sudahlah.
Setiap cinta selalu berakhir dengan pernyataan. Ini bagiannya 1 bulan setelah senja itu. Apa aku terlalu cepat menceritakannya ?
Aku hanya membawa setangkai bunga. Mungkin terlalu biasa, tapi dulu ini sangatlah keren. Aku sudah janjian di kafe.
Anginnya berlari berlawan dengan laju motorku, agak sedikit kencang dan itu membuatku ngantuk setengah tidur atau tidur setengah ngantuk. Yah…, mungkin bukan karena anginnya tapi aku yang tak bisa tidur tadi malam, untuk hari ini. Hari yang besar untuk logika anak dengan tinggi badan 165 cm ini, padahal masih ada kemungkinan ditolak olehnya.
Bau udaranya sangat khas, rumput kering yang mulai tumbuh, terasa nyaman di hidung. Padahal wajahku tertutup helm dan anginnya kencang -_- tapi itulah yang hidungku ingat saat itu.
Suara ? oh hanya
bising kendaraan yang memblokade telingaku, yah membuatku bisa fokus akan
berkata apa nantinya.
Aku yang sekarang ketawa sendiri dan sedikit kagum dengan teks pernyataan cinta yang dulu pernah kubuat, singkat, padat dan sangat iuwwwwwww.
Saat mengingat
mengingat teks pernyataan, aku melihat Bilqis di taman, duduk sendiri di kursi
coklat yang terletak di pinggir jalan setapak, dia diam, entah diam apa, karena
wanita selalu mempunyai banyak bentuk diam.
Apa aku akan kesana ? tak usah banyak berfikir lah. Kata orang jaman dulu “Ikuti hidungmu”. Aku memilih untuk menghampirinya dan eksekusi disana. Taman bukanlah tempat yang buruk bukan.
Aku parkir
motor. Kemudian, menghampirinya. Bunganya ? aku sembunyikan di belakang tulang
belakangku.
“Hai !“ sapaku renyah.
Dia melihatku dan diam untuk beberapa saat, seakan menyuruhku untuk duduk.
“Sedang apa ?” tanyaku.
“Duduk” jawaban yang bodoh darinya.
“Hmmmm qis” skenarionya dimulai.
“Lum, dia kembali ?”
“Siapa ?”
“Bukankah sudah jelas ?” maksudnya adalah mantannya. Takkan ku jelaskan di sini.
“Iya, udah” aku menarik nafas panjang. Bunganya sudah tidak kusembunyikan tapi teletak dengan lesu diantara lutut yang tergantung di kedua tanganku.
“Kamu masih cinta sama dia ?” tanyaku.
Dia diam, diam yang dalam. Tanda kekacauan hati.
Kemudian dia mengangguk pelan dan dia menyender pada bahuku, aku tidak tahu begaimana menjelaskan perasaanku saat itu, tak pernah ada kata spesifik untuk menunjukan kata yang lebih dari patah hati, apakah patah hati luar biasa ? entahlah otakku sudah beku.
Semua tubuhku kaku dan dingin, nafasku berat. Kulihat dia di pundakku, asataga dia cantik sekali. Tapi pada waktu ini aku tak bisa melakukan apa apa untuk memilikinya, terlalu egois untukku.
Kami diam hampir setengah jam, terlalu singkat untuk rumput yang akan tumbuh.
“Lum…., andai kau datang lebih awal darinya.” Desahnya pelan. Maksud desahannya adalah meminta pendapat, meminta saran, meminta penjelasan atau apalah yang penting aku bicara
“Sebetulnya ga penting siapa yang duluan datang, Kamu mencintainya itu faktanya, masalah aku mencintaimu itu bukan masalahnya. Apakah cukup jelas ?” Jelasku tegar dan beribawa.
Dia hanya mengganguk pelan.
Aku menelpon temannya, untuk mengantarnya pulang, rasanya aneh jika aku yang mengantarnya.
Aku sendiri memandangi lampu kendaraan yang lewat dengan redup, seredup dan sekelabu diriku. Hari ini ramai jalanan, aku suka keramaian tapi saat ini keadaanku lebih buruk dari kesepian.
Pada kenyataannya aku meninggalkannya untuk kedua kalinya setelah yang pertama di depan kelas.
Kami berpisah. Entah hanya untuk menghormatinya atau hanya aku yang terlalu takut untuk berurusan dengannya lagi. Hubungan kita sudah tak sama, sama sekali tak sama.
Dia Bahagia.
Hanya saja, aku masih mencintainya.
-BERSAMBUNG
Gw menerima kritik dan saran, langsung di kontak aja SOSMED gw yang penuh status 4L@Y atau langsung email gw di fjr.ulum@gmail.com kritik dan saran kalian akan membantu sekali untuk karya gw selanjutnya.
Gw menerima kritik dan saran, langsung di kontak aja SOSMED gw yang penuh status 4L@Y atau langsung email gw di fjr.ulum@gmail.com kritik dan saran kalian akan membantu sekali untuk karya gw selanjutnya.
Sampai jumpa di coretan gw selanjutnya, bye.....:)
0 komentar:
Posting Komentar