yang belum baca chapter 1 ada
di sini
2. Hanya
Saja
Dinginnya pagi ini
serasa berbeda dengan lainnya, ada setiap kenangan dan rindu dalam ingatku
mengenangmu. Hari reuni akhirnya datang menghampiri rindu yang tak sampai ini.
Hari besar, hari bertemu dengan mu dalam hangatnya rangkulan bulan oktober.
Jam sudah
menunjukan pukul 07.00 dan acara di mulai jam 10.00 hanya sekitar 3 jam aku
harus mempersiapkan diri untuk acara ini. Dalam setiap detiknya aku
mengenangmu, kenangan yang indah. Sebenarnya banyak sekali yang ingin ku
ceritakan tentangmu pada bagian kedua ini tapi mungkin akan bagus jika
setengahnya hanya kita yang tau.
***
Saat ku tahu
namamu Bilqis, sejak itulah aku membayangkan namamu akan terukir indah bersanding
denganku di undangan pernikahan. Ahhhhh…., khayalan yang terlalu tinggi untukku
berukuran 165 cm ini.
Hari berlalu,
bahkan terlalu cepat untuk seekor lebah pekerja untuk menghasilkan madunya.
Kami sudah sering bertegur sapa. Biasanya dia yang menyapa karena aku tak punya
topeng tebal untuk menyapanya sejak saat itu.
***
Disuatu hari
yang sangat biasa.
Ketika aku duduk
di depan kelas memandangi setiap inchi langit berawan, langit Cirebon sangat
indah. Jika kau kesini cobalah untuk diam sejenak dan lihat langitnya maka
dalam sekejap kau akan dibuat melayang dibuatnya, bagai permen kapas berundak
undak. Otakku sekarang benar benar kosong di buat melayang oleh awan awan nakal
itu.
Alasanku bisa
ada diluar adalah karena kelas kosong dan semuanya sedang mengerjakan tugas.
Kalau bukan karena guru kiler itu, anak di kelas gak bakal kerasukan
mengerjakan tugas seperti itu.
Tapi, aku jenius
aku tak butuh kerasukan seperti itu untuk mengerjakan tugas ini. Kecepatan
menulisku di atas rata rata jadi, ketika waktu pelajaran tinggal 15 menit aku
akan kembali masuk kelas dan berteriak “SIAPA YANG UDAH ?” dan aku akan
menyalinnya dalam 15 menit. Hebatkan ? jadi aku punya 75 menit bebas.
“Hai” Suara yang
belum biasa kudengar. Secepat tokoh sonic dalam kartunnya aku menengok dan yap
itu dia sang merpati tanpa cacat
“Oy…” Sapaku
balik dengan badan yang setengah berajak, ingin kabur. Aku katakan sekali lagi
aku tidak punya topeng tebal.
“Hoy bentar !” suara
cemperngnya membuatku duduk kembali, jujur aku masih takut.
“Ada apa ?” tanyaku
dengan wajah yang biasa, tampan.
Matanya membesar,
terlihat seperti dipaksakan “ajarin fisika dong !”
“Tunggu, kamu
kenapa bisa ada di luar kelas ? “ Tanyaku.
“Hmm….” Keningnya
berkerut 3.
“Dikeluarin ?” tanyaku
memperjelas kodenya yang sudah kayak cacing kepanasan yang slowmotion.
“Hmmmm…, heeh.” Kerut
di keningnya sudah beranak.
“Wuhahaha…” Tawaku
lepas, sangat lepas.
Dengan beberapa
kedipan mata dia langsung bergerak cepat
“Sttt…, diem ih
!” dengan telunjuk di mulut ku. Mata kita bertemu. Walaupun cuma 2 detik kurang
tapi jika cerita ini akan di buatkan film, aku yakin aku akan terus mengulang
adegan ini, mungkin aku akan request ke sutradaranya supaya ada merpati di
samping sampingnya. Tapi, mungkin tidak jadi merpati kan ku ganti kucing,
karena aku tak ingin dia direbut merpati lain. Dia merpatiku.
“Diem ihhhh…,
udah ayo ajarin ihhhh !” katanya melanjutkan.
“Matamu indah,”
ups kecepolosan mulutku
“Udah cepetan
ajarin !” tegasnya sambil menarik tanganku ke bukunya. Ucapanku tak
digubrisnya. Selamat.
Gayaku langsung
berubah menjadi berwibawa “mana sini ?”
“Ini yang ini,”
arahnya ke salah satu soal. Ternyata soalnya mah gampang cuma pengemasan
soalnya saja yang ribet.
Kami duduk di
kursi panjang depan kelas yang sekaligus menjadi mejanya.
Aku lumayan jago
Fisika, terakhir nilai Fisika ku tertinggi kedua di angkatan. Soalnya Fisika
itu pelajaran imajinasi, jadi mudah saja untuk orang yang suka ngayal
sepertiku. Sekarang kalian tau aku jago Fisika dan Bahasa Indonesia. Aku jago
di keduanya tapi aku bego di semuanya kecuali dua itu.
“Fisika itu
pelajaran menghayal, kamu bayangin aja gimana kejadian nya, abis itu pasti
gampang deh.” Jelasku sebagai pendahuluan.
“Enak di denger
sih, tapi gimana ?”
“Kamu harus tau
rumus rumusnya dulu ?”
“Rumus mah hapal
semua, cuma pas ngerjain ini kok susah ya ?”
“Gini dah kamu
tutup mata, terus bayangin kejadian. Ambil benang merahnya, baru kamu telusuri
benang lainnya” Jelasku seperti pelatih yoga.
Dia langsung
menutup mata. Wajahnya cantik sekali, bahkan saat menutup mata. Aku cuma
berharap wajah ini akan ada di setiap pagiku di hari mendatang. Tuh kan aku
suka menghayal.
Beberapa detik
berlalu.
“Udah belum ?”
“Susah.”
Jawabnya dengan wajah yang masih sama dengan beberapa detik yang lalu, masih
cantik.
“Inget ambil
benang merahnya, benang merah” kataku seperti seorang komandan yang memberi
perintah ke bawahannya.
Dia menurut. “Heeh
heeh” sambil mengangguk. Dia amat sangat cantik dari jarak sedekat ini.
“Krekkk…” Suara
pintu. Aku tidak langsung menenggok karena aku tahu siapa yang bisa mengerjakan
tugas matematika itu dalam waktu mungkin sudah 15 menit. Dia adalah pribumi
berwajah oriental, Tizar sang juara umum semester kemarin, dia juga yang
mendapat nilai teringgi Fisika di atasku. Walaupun mukanya tidak mencerminkan.
“Kantin ?” tanyaku
tanpa menggangu merpati di depanku. Bisik bisik .
“Ayo lah laper
nih…” Dengan muka super melasnya.
“Tapi ini dulu,
nih si Bilqis minta ajarin fisika nih.” Dengan bisikan yang kurasa paling
pelan.
Tapi si kampret
tak memperdulikannya, dia menarik tanganku dengan sangat keras. Aku berniat
teriak dan minta maaf pada merpati di depanku. Tapi, aku takut menggangu
konsentrasinya.
Dengan mata yang
masih tertutup, dia aku tinggal kan. Tapi percayalah aku tak akan
meninggalkanmu lain kali. Percayalah. Tapi kenyataannya ? entahlah aku punya
cerita sendiri.
***
Aku pulang dari
sekolah dengan harapan tidak bertemu dengannya.
Aku biasa pulang
dengan Tizar hanya sampai perempatan pertama dari arah sekolah, sehabis itu
kita berpisah. Tapi, hari ini tidak seperti biasa. Aku telah meninggalkan
Bilqis di depan kelas.
“Ikut dong,”
kata seseorang di belakang lebih tepatnya di arah tenggara. Suaranya tidak
terlalu merdu.
Aku menengok
dengan ragu ragu. Tanpa menyelesaikan tengokanku, aku berjalan cepat.
“Hei tunggu !!!”
teriaknya
“Teriak kesiapa
qis ?” tanya tizar yang ternyata lupa aku bawa dan masih berada di belakang.
“Tuh pacarmu, si
Ulum.” tunjuknya. Kini dia sejajar dengan Tizar.
“Mana ada,
lagian gw milih milih kali hahaha” balasnya. Dari jauh aku sudah bisa menebak
kalau candaannya garing seperti biasanya. Bilqis tak mengubrisnya, dia fokus
kepadaku. Bukan hal yang baik.
Dia mempercepat
jalannya meniggalkan tawa renyah dari si raja garing.
“Hey…!!!” dia
sudah di sampingku. Aku menyerah, kami beriringan.
“Kenapa ?”
mukaku harlem shake.
“Aku tadi bisa
mengerjakan soalnya,” mukanya bahagia sangat. Syukurlah…., aku selamat.
“Tapi…,” Dia
melanjutkan. Jantungku mau copot.
“Pa yosi
menyebutku pertapa.” Wajahnya berlipat seperti tikar lebaran.
“Bukankah itu
bagus ?” tanyaku dengan senyum termanis, nyatanya mungkin seram.
“Bagus darimana,
dia bilang aku harus bertapa beberapa tahun untuk mendapat satu jawaban.” Alisnya
agak naik.
“Tapikan intinya
kamu itu pinter loh,” belaku.
“Iya juga sih.”
Muka bangga.
“Tapi lemot.” Bantingku.
Kami sampai parkiran.
“Ih kampret,
anterin balik dong !” pintanya dengan wajah preman minta jatah.
“Helmya cuma ada
satu.” Alasanku.
“Pinjemin
helmnya ke akulah, biar romantic.” Nampaknya otaknya sudah miring sejak awal.
“Percuma
romantis kalau gak selamat.” Belaku sambil memakai jaket abuku.
“Selamat kok.” Katanya
tidak menyerah.
“Masa?” dengan
alis yang agak naik.
“Iya aku doang
yang selamat” senyumnya nakal.
“Aku ?”
“Hmmm, luka
ringan lah.” Jawabnya setelah bertapa. Sebenarnya luka ringan lebih baik dari
pada dia yang luka berat, bisa bisa aku bunuh diri karena kehilangannya.
Tizar akhirnya
sampai parkiran. Dia memalingkan mukanya dari kami. Kami memperhatikannya. Dia
mengambil helm dan melempar ke arahku.
“Ambil nih, aku
lagi gak ada penumpang.” Katanya dan langsung pergi dengan motornya.
Tizar memang
pengertian.
“Ayo naik !”
ajakku.
“Yuk.”
terimanya.
Helm hitam yang
kupakai, sedangkan satu lagi helm mokka menyatu dengan kepalanya.
Motor vespa tua
dengan sedikit modifikasi warna marun seirama dengan hati.
Motorku melaju
dengan amat sangat santai, aku tak mau membuang momen ini. rasanya seperti
mimpi. Jalan jalan kecil yang menghiasi jalan besar bergantian menyambut kami,
hati yang bahagia. Kami ? atau hanya aku saja.
“ekhkkkkk….ekhkkkk…”
Motor tuaku kambuh. Aku berhenti.
“Kenapa ini
?” tanyanya bingung. Aku meminggirkan
motor kampretku.
Mungkin kalian
para pembaca sudah bisa menebak kalau ini akan terjadi dan kejadian romantis
akan kembali tersaji dalam cerita ini. Mungkin ceritanya sangat mirip FTV dan
aku menconteknya. Tapi, percayalah FTV yang mencontek ceritaku. Penulis cerita
hidupku lebih hebat dari penulis FTV.
“Mogok hehehe,”
tawaku renyah.
Dia hening
sejenak dan berkata “hah apa ?” tanyanya dengan wajah seperti artis sinetron
yang mendapat berita ibunya meninggal. Dia sengaja melakukannya.
“Kamu bisa
pulang naik angkot kok.” Tawarku.
“Ganti ruginya gimana
? rugi dong aku.”
“Kapan kapan
deuhhhh”
“Aku naik kamu
yang dorong”
“Mending kamu
naik angkot ih”
“Gak mau”
wajahnya mulai kesal.
“Hayu dahhhh”
dia memang wanita kejam hehehe.
Aku mendorongnya
aku bisa melihat punggungnya dari sini. Aku bisa melihatnya dari sini. Aku
bersyukur.
Beberapa meter
kemudian dia turun
“Ayo sini
gentian ?” tawarnya.
“Ayo ayo,”
jawabku semangat.
Posisi kami
berganti. Beberapa meter kemudian dia berhenti.
“Haduhhhh…,berat
yah.” Dia mengeluh. Aku turun.
“Yaudahlah aku
jalan aja.” Lanjutnya.
“Yakin gak mau
naik angkot”
“Inget ganti
rugimu”
Kini aku
berjalan disampingnya, disampingnya.
Senja mulai
berkenalan dengan sore, hari mulai sore. Bengkel mulai terlihat, bengkel bang Aceng.
Bengkel langgananku. Bengkel kecil dengan bangunan 2 lantai. Bengkel di lantai
satu dan kafe di lantai 2.
Tempatnya sepi,
mungkin sudah sore. Karena kulihat bekas oli masih berceceran dimana mana. Para
pegawai sedang mengobrol dengan bang Aceng berada di tengah bercerita,
bercengkrama melepas penat dalam diri.
“Udah berani
bawa cewe ya, kamu !” godanya
“Bilqis bang.” Serobot
wanita yang kubawa.
“Bang Aceng, aku
ini teman bapaknya si Ulum. Dari kecil si Ulum sudah sering ke sini, nungguin bapaknya main catur sama saya.”
“Jago catur dong
dia ?”
“Jago dari mana
? dia mah orangnya males mikir, belajar catur saja ga mau, kamu bisa main catur
?”
“Kayaknya gak
deh, lemot otaknya, harus bertapa dulu baru lancar.” Candaku
“Ihhh enak aja,
gini gini aku pernah juara catur di kelas.” Bangganya sambil memukul pelan
tangan atasku.
“Entar habis ini
mainlah kita.” Tawar bang Aceng.
“Udahlah ayo
naik, bang Acisnya ada kan ?”
“Ada kok, dia
katanya nyariin kamu tuh”
“Yaudahlah, aku
ke atas ya bang, ayu qis !” ajakku
Sampailah kita
di lantai 2, kafe kecil bernama “seruput” bang Acis punya, dia adiknya bang Aceng.
Bedanya 8 tahun dariku, bisa di bilang dia pengusaha muda.
Kami masuk, cuma
ada beberapa orang di sana 2 orang dekat meja kasir dan satu orang sendiri di
pinggir kafe dekat jalan raya.
“Hai bang.” Sapaku
sambil menepuk pundaknya. Dia sedang mengotak ngatik laptopnya. Serius mukanya,
uratnya tegang seperti tentara yang berbaris dan bubar setelah aku menyapanya.
“Hai Ulummmm,
lah ini siapa ? baru juga kemaren bawa cewe, ini bawa lagi. Neng jangan mau
sama dia, simpenannya banyak udah kayak peranakan Laron.” Sapanya balik dengan
menambahkan informasi yang bersifat fiksi.
Aku langsung
menampar pundaknya.
“Bilqis bang.” Sahut
orang yang berada di sebelahku.
“Yaudah bang,
biasa yah !”
Kami duduk di
dekat jendela dekat jalan raya, kafe ini menghadap kearah timur jadi kami tidak
bisa menikmati saat saat matahari dilumat bumi di barat. Ramai jalanan sore
itu, seramai hati ini.
“Ramai sekali ?”
tanyanya.
“Aku suka.” Jawabku
singkat.
Kami diam
ditelan lampu remang dibalik jendela.
Aku
mengantarkannya pulang, dan di sana ibunya sudah menunggu di depan rumah.
“Mau kenalan ga
?” ajaknya, tapi belum sempat menjawab aku sudah ditarik.
“Mah ini Ulum.”
Mengenalkanku dengan wajah berseri seperti mengenalkan anak kucing.
“Oh Ulummm.” Begitu
saja reaksi ibunya
“Ibu Yuyun kan ?“
tanyaku singkat sebelum dia mengenalkan namanya.
Dan malam itu
berakhir dengan aku bertemu dengan yuyun sebenarnya.
***
Aku mulai
menyusuri jalanan yang dulu pernah jadi saksi senja pertama kita. Anginnya
selalu sama. Apakah dirinya masih sama ? aku bahkan tak bisa membayangkan aku
aku bertemu dengannya lagi.
Hubunganku
dengannya naik seperti halnya kenaikan presentase penjualan indomie pada akhir
bulan. Seperti manusia pada umumnya, aku mencari seluk beluk informasi tentang
dirinya Tizar pernah menawarkan sesuatu padaku.
“Lum mau aku
certain tentang mantannya si Bilqis ga ?”
“Buat apa ? aku
mah Cuma peduli masa depannya gak peduli masa lalunya.” Jawabku asik. Padahal
nyatanya, mungkin informasi itu bisa menjadi informasi yang paling aku ingin
dapat dari seluruh informasi lainnya di hidupku. Asal kau tau dulu facebook gak
se nge tren sekarang. Tapi, ya sudahlah.
Setiap cinta
selalu berakhir dengan pernyataan. Ini bagiannya 1 bulan setelah senja itu. Apa
aku terlalu cepat menceritakannya ?
Aku hanya
membawa setangkai bunga. Mungkin terlalu biasa, tapi dulu ini sangatlah keren.
Aku sudah janjian di kafe.
Anginnya berlari
berlawan dengan laju motorku, agak sedikit kencang dan itu membuatku ngantuk
setengah tidur atau tidur setengah ngantuk. Yah…, mungkin bukan karena anginnya
tapi aku yang tak bisa tidur tadi malam, untuk hari ini. Hari yang besar untuk
logika anak dengan tinggi badan 165 cm ini, padahal masih ada kemungkinan
ditolak olehnya.
Bau udaranya
sangat khas, rumput kering yang mulai tumbuh, terasa nyaman di hidung. Padahal
wajahku tertutup helm dan anginnya kencang -_- tapi itulah yang hidungku ingat
saat itu.
Suara ? oh hanya
bising kendaraan yang memblokade telingaku, yah membuatku bisa fokus akan
berkata apa nantinya.
Aku yang
sekarang ketawa sendiri dan sedikit kagum dengan teks pernyataan cinta yang
dulu pernah kubuat, singkat, padat dan sangat iuwwwwwww.
Saat mengingat
mengingat teks pernyataan, aku melihat Bilqis di taman, duduk sendiri di kursi
coklat yang terletak di pinggir jalan setapak, dia diam, entah diam apa, karena
wanita selalu mempunyai banyak bentuk diam.
Apa aku akan
kesana ? tak usah banyak berfikir lah. Kata orang jaman dulu “Ikuti hidungmu”.
Aku memilih untuk menghampirinya dan eksekusi disana. Taman bukanlah tempat
yang buruk bukan.
Aku parkir
motor. Kemudian, menghampirinya. Bunganya ? aku sembunyikan di belakang tulang
belakangku.
“Hai !“ sapaku
renyah.
Dia melihatku
dan diam untuk beberapa saat, seakan menyuruhku untuk duduk.
“Sedang apa ?”
tanyaku.
“Duduk” jawaban
yang bodoh darinya.
“Hmmmm qis”
skenarionya dimulai.
“Lum, dia
kembali ?”
“Siapa ?”
“Bukankah sudah
jelas ?” maksudnya adalah mantannya. Takkan ku jelaskan di sini.
“Iya, udah” aku
menarik nafas panjang. Bunganya sudah tidak kusembunyikan tapi teletak dengan lesu diantara lutut yang tergantung di kedua tanganku.
“Kamu masih
cinta sama dia ?” tanyaku.
Dia diam, diam
yang dalam. Tanda kekacauan hati.
Kemudian dia
mengangguk pelan dan dia menyender pada bahuku, aku tidak tahu begaimana menjelaskan perasaanku saat itu, tak pernah ada kata spesifik untuk menunjukan
kata yang lebih dari patah hati, apakah patah hati luar biasa ? entahlah otakku
sudah beku.
Semua tubuhku
kaku dan dingin, nafasku berat. Kulihat dia di pundakku, asataga dia cantik
sekali. Tapi pada waktu ini aku tak bisa melakukan apa apa untuk memilikinya,
terlalu egois untukku.
Kami diam hampir
setengah jam, terlalu singkat untuk rumput yang akan tumbuh.
“Lum…., andai
kau datang lebih awal darinya.” Desahnya pelan. Maksud desahannya adalah
meminta pendapat, meminta saran, meminta penjelasan atau apalah yang penting
aku bicara
“Sebetulnya ga
penting siapa yang duluan datang, Kamu mencintainya itu faktanya, masalah aku mencintaimu
itu bukan masalahnya. Apakah cukup jelas ?” Jelasku tegar dan beribawa.
Dia hanya
mengganguk pelan.
Aku menelpon
temannya, untuk mengantarnya pulang, rasanya aneh jika aku yang mengantarnya.
Aku
sendiri memandangi lampu kendaraan yang lewat dengan redup, seredup dan
sekelabu diriku. Hari ini ramai jalanan, aku suka keramaian tapi saat ini
keadaanku lebih buruk dari kesepian.
Pada
kenyataannya aku meninggalkannya untuk kedua kalinya setelah yang pertama di
depan kelas.
Kami berpisah.
Entah hanya untuk menghormatinya atau hanya aku yang terlalu takut untuk
berurusan dengannya lagi. Hubungan kita sudah tak sama, sama sekali tak sama.
Dia Bahagia.
Hanya saja, aku
masih mencintainya.
-BERSAMBUNG
Gw menerima kritik dan saran, langsung di kontak aja SOSMED gw yang penuh status 4L@Y atau langsung email gw di fjr.ulum@gmail.com kritik dan saran kalian akan membantu sekali untuk karya gw selanjutnya.
Sampai jumpa di coretan gw selanjutnya, bye.....:)